Assalamualaykum warroh matullohi wabarokatuhu...

Sabtu, 31 Maret 2012

Bolehkah Wanita Haidh Masuk ke Masjid ?

Posted by Admin pada 21/06/2010
Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya wanita yang sedang haidh masuk masjid untuk suatu keperluan, misalnya mengikuti taklim? Sementara ada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Rasulullah Shalallahu a’laihi wassalam bersabda:
“Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid kepada wanita yang haidh dan orang yang junub.”
‘Athiyyah, Purwokerto
Jawab :
Dalam permasalahan ini ada perselisihan pendapat di kalangan ulama, ada yang mengatakan boleh dan ada pula yang berpendapat tidak boleh. Kata Imam Asy Syaukani: “Zaid bin Tsabit berpendapat boleh bagi wanita haidh masuk ke dalam masjid kecuali bila dikhawatirkan darahnya menajisi masjid. Al Imam Al Khaththabi menghikayatkan kebolehan ini dari Malik, Asy Syafi`i, Ahmad dan Ahlu dzahir. Sedangkan yang berpendapat tidak boleh adalah Sufyan dan Ashabur Ra’yi, dan pendapat ini yang masyhur dari madzhabnya Al Imam Malik.” (Nailul Authar, 1/320).
Namun yang kuat dari pendapat yang ada, wallahu ta‘ala a‘lam bisshawwab, wanita haidh dibolehkan masuk masjid. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Hazm dalam kitab beliau Al Muhalla (2/184-187), karena tidak ada dalil yang menunjukkan larangan akan hal ini, sementara Rasulullah Shalallahu a’laihi wassalamtelah bersabda :
Sesungguhnya orang mukmin itu tidaklah najis.” (HR. Al Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371)
Di masa hidupnya Rasulullah Shalallahu a’laihi wassalam ada seorang wanita hitam bekas budak yang biasa membersihkan masjid Nabi dan ia memiliki tenda di dalam masjid. Sebagai seorang wanita tentunya ia mengalami haidh namun tidak didapatkan adanya perintah Rasulullah Shalallahu a’laihi wassalamagar dia keluar dari masjid ketika masa haidhnya. (Haditsnya disebutkan Al Imam Al Bukhari dalam Shahihnya no. 439).
Sementara hadits yang anda tanyakan adalah hadits yang dha’if (lemah), dijelaskan pula oleh Ibnu Hazm sisi kelemahan hadits ini, sebagaimana dalam Al Muhalla. Demikian pula Asy Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah (118-119).
Batasan kufu dalam pernikahan
Apakah batasan kufu dalam pernikahan? Apakah adanya kecocokan hati, perasaan, cara berpikir, cara pandang dan kefaqihan dalam agama termasuk dalam kekufuan ?
Dianwati
ummuyusuf@myquran.com
Jawab :
Para ahli fiqih (fuqaha) berbeda pendapat tentang kafa’ah (kufu) dalam pernikahan, namun yang benar sebagaimana dijelaskan Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma‘ad (4/22), yang teranggap dalam kafa’ah adalah perkara dien (agama). Beliau t berkata tentang permasalahan ini diawali dengan menyebutkan beberapa ayat Al Qur’an, di antaranya :
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berkabilah-kabilah agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (Al Hujurat: 13)
Orang-orang beriman itu adalah bersaudara.” (Al Hujurat: 10)
“Kaum mukminin dan kaum mukminat sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.” (At Taubah: 71)
Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik…” (An Nur: 26)
Kemudian beliau lanjutkan dengan beberapa hadits, di antaranya sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam:
Tidak ada keutamaan orang Arab dibanding orang ajam (non Arab) dan tidak ada keutamaan orang ajam dibanding orang Arab. Tidak pula orang berkulit putih dibanding orang yang berkulit hitam dan sebaliknya orang kulit hitam dibanding orang kulit putih, kecuali dengan takwa. Manusia itu dari turunan Adam dan Adam itu diciptakan dari tanah”.
Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda kepada Bani Bayadlah: “Nikahkanlah wanita kalian dengan Abu Hindun”.
Maka merekapun menikahkannya sementara Abu Hindun ini profesinya sebagai tukang bekam.
Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam sendiri pernah menikahkan Zainab bintu Jahsyin Al Qurasyiyyah, seorang wanita bangsawan, dengan Zaid bin Haritsah bekas budak beliau. Dan menikahkan Fathimah bintu Qais Al Fihriyyah dengan Usamah bin Zaid, juga menikahkan Bilal bin Rabah dengan saudara perempuan Abdurrahman bin `Auf.
Dari dalil yang ada dipahami bahwasanya penetapan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam masalah kufu adalah dilihat dari sisi agama. Sebagaimana tidak boleh menikahkan wanita muslimah dengan laki-laki kafir, tidak boleh pula menikahkan wanita yang menjaga kehormatan dirinya dengan laki-laki yang fajir (jahat/jelek).
Al Qur’an dan As Sunnah tidak menganggap dalam kafa’ah kecuali perkara agama, adapun perkara nasab (keturunan), profesi dan kekayaan tidaklah teranggap. Karena itu boleh seorang budak menikahi wanita merdeka dari turunan bangsawan yang kaya raya apabila memang budak itu seorang yang ‘afif (menjaga kehormatan dirinya) dan muslim. Dan boleh pula wanita Quraisy menikah dengan laki-laki selain suku Quraisy, wanita dari Bani Hasyim boleh menikah dengan laki-laki selain dari Bani Hasyim. (Zaadul Ma‘ad, 4/22) .
Sumber: http://asysyariah.com Penulis : Pengasuh Rubrik Muslimah

Shalat ‘Id untuk Wanita

Hukum Keluarnya untuk ‘Id di Zaman ini

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya:
Apa hukum keluarnya wanita ke tempat shalat ‘Id, terutama di zaman kita sekarang ini yang banyak terjadi fitnah, sementara sebagian wanita keluar rumah dengan berhias dan mengenakan wewangian. Jika kami mengatakan boleh, apa pendapat Anda tentang ucapan ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, “Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat apa yang dilakukan oleh para wanita, tentulah beliau akan melarangnya”?

Jawaban fatwa ulama bolehnya wanita keluar untuk menunaikan shalat ‘id:

Menurut kami, bahwa para wanita diperintahkan untuk keluar ke tempat shalat ‘id agar dapat menyaksikan kebaikan  dan ikut serta bersama kaum Muslimin lainnya dalam shalat dan dakwah mereka, akan tetapi seharusnya mereka keluar dengan sederhana, tidak berhias dan tidak pula mengenakan wewangian. Dengan demikian, berarti mereka dapat melaksanakan sunnah dan menghindari fitnah. Sedangkan para wanita yang ber-tabarruj (berhias) dan mengenakan wewangian, maka itu karena ketidaktahuan mereka dan kekurangan para wali mereka dalam urusan mereka. Namun, yang demikian ini tidak menghalangi hukum syariat yang umum, yaitu diperintahkannya para wanita untuk keluar menuju tempat pelaksanaan . Adapun mengeani ucapan Aisyah radhiallahu ‘anhu, sebagaimana diketahui, bahwa sesuatu yang mubah (boleh) apabila menyebabkan timbulnya sesuatu yang haram maka akan menjadi haram. Jika mayoritas wanita keluar rumah dengan penampilan yang seperti demikian (As’ilah wa Ajwibah fi Shalatil Idain, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 26).
Sumber: Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Jilid 1, Darul Haq, Cetakan VI 2010
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Sejarah Munculnya Peringatan Maulud Nabi

Disebutkan para ahli sejarah bahwa kelompok yang pertama kali mengadakan maulid adalah kelompok Bathiniyah, mereka menamakan dirinya sebagai Bani Fatimiyah dan mengaku sebagai keturunan ahli bait (keturunan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam). Disebutkan bahwa kelompok Batiniyah memiliki 6 peringatan maulid, yaitu maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, maulid Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, maulid Fatimah, maulid Hasan, maulid Husain dan maulid penguasa mereka. Daulah Bathiniyah ini baru berkuasa pada awal abad ke-4 H. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam baru muncul di zaman belakangan, setelah berakhirnya massa tiga abad yang paling utama dalam umat ini (al quruun al mufadholah). Artinya peringatan maulid ini belum pernah ada di zaman Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan para sahabat, tabi’in dan para tabi’ tabi’in. Al Hafizh As Sakhawi mengatakan: “Peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam belum pernah dinukil dari seorang pun ulama generasi terdahulu yang termasuk dalam tiga generasi utama dalam Islam. Namun peringatan ini terjadi setelah masa itu.”
Pada hakikatnya, tujuan utama daulah ini mengadakan peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam adalah dalam rangka menyebarkan aqidah dan kesesatan mereka. Mereka mengambil simpati kaum muslimin dengan kedok cinta ahli bait Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. (Dhahiratul Ihtifal bil Maulid An Nabawi, Abdul Karim Al Hamdan)
Siapakah Bani Fatimiyah
Bani Fatimiyah adalah sekelompok orang Syiah pengikut Ubaid bin Maimun Al Qoddah. Mereka menyebut dirinya sebagai Bani Fatimiyah karena menganggap bahwa pemimpin mereka adalah keturunan Fatimah putri Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Meskipun aslinya ini adalah pengakuan dusta. Oleh karena itu, nama yang lebih layak untuk mereka adalah Bani Ubaidiyah bukan Bani Fatimiyah. Kelompok ini memiliki paham Syiah Rafidhah yang menentang Ahlusunnah, dari sejak didirikan sampai masa keruntuhannya berkuasa di benua Afrika bagian utara selama kurang lebih dua abad. Dimulai sejak keberhasilan mereka dalam meruntuhkan daulah Bani Rustum tahun 297 H dan diakhiri dengan keruntuhan mereka di tangan daulah Salahudin Al Ayyubi pada tahun 564 H. (Ad Daulah Al Fathimiyah, Ali Muhammad As Shalabi).
Daulah Fatimiyah ini memiliki hubungan erat dengan kelompok Syiah Al Qaramithah Bathiniyah. Perlu diketahui bahwa Kelompok Al Qaramithah Bathiniyah ini memiliki keyakinan yang sangat menyimpang dari ajaran Islam. Di antaranya mereka hendak menghilangkan syariat haji dalam agama Islam. Oleh karena itu, pada musim haji tahun 317 H kelompok ini melakukan kekacauan di tanah haram dengan membantai para jama’ah haji, merobek-robek kain penutup pintu ka’bah, dan merampas hajar aswad serta menyimpannya di daerahnya selama 22 tahun. (Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir).
Siapakah Abu Ubaid Al Qoddah
Nama aslinya Ubaidillah bin Maimun, kunyahnya Abu Muhammad. Digelari dengan Al Qoddah yang artinya mencolok, karena orang ini suka memakai celak sehingga matanya kelihatan mencolok. Pada asalnya dia adalah orang Yahudi yang membenci Islam dan hendak menghancurkan kaum muslimin dari dalam. Dia menanamkan aqidah batiniyah. Dimana setiap ayat Alquran itu memiliki makna batin yang hanya diketahui oleh orang-orang khusus di antara kelompok mereka. Maka dia merusak ajaran Islam dengan alasan adanya wahyu batin yang dia terima dan tidak diketahui oleh orang lain. (Al Ghazwul Fikr dan Ad Daulah Al Fathimiyah, Ali Muhammad As Shalabi).
Dia adalah pendiri dan sekaligus orang yang pertama kali memimpin Bani Fatimiyah. Pengikutnya menggelarinya dengan Al Mahdi Al Muntazhar (Al Mahdi yang dinantikan kedatangannya). Berasal dari Iraq dan dilahirkan di daerah Kufah pada tahun 206 H. Dirinya mengaku sebagai keturunan salah satu ahli bait Ismail bin Ja’far As Shadiq melalui pernikahan rohani (nikah non fisik). Namun kaum muslimin di daerah Maghrib (Maroko) mengingkari pengakuan nasabnya. Yang benar dia adalah keturunan Said bin Ahmad Al Qoddah. Terkadang orang ini mengaku sebagai pelayan Muhammad bin Ja’far As Shodiq. Semua ini dia lakukan dalam rangka menarik perhatian manusia dan mencari simpati umat. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak di antara orang-orang yang tidak tahu di daerah Afrika membenarkannya dan menjadikannya sebagai pemimpin. (Al Bidayah wan Nihayah karya Ibn Katsir dan Ad Daulah Al Fathimiyah karya Ali Muhammad As Shalabi).
Sikap Para Ulama Terhadap Bani Ubaidiyah (Fatimiyah)
Para ulama Ahlussunnah telah menegaskan status kafirnya klan ini. Karena aqidah mereka yang menyimpang. Para ulama menegaskan tidak boleh bermakmum di belakang mereka, tidak boleh menyalati jenazah mereka, tidak boleh adanya hubungan saling mewarisi di antara mereka, tidak boleh menikah dengan mereka, dan sikap-sikap lainnya sebagaimana yang selayaknya diberikan kepada orang kafir. Di antara ulama Ahlussunnah yang sezaman dengan mereka dan secara tegas menyatakan kekafiran mereka adalah As Syaikh Abu Ishaq As Siba’i. Bahkan beliau mengajak untuk memerangi mereka. Syaikh Al Faqih Abu Bakr bin Abdur Rahman Al Khoulani menceritakan:
“Syaikh Abu Ishaq bersama para ulama lainnya pernah ikut memerangi Bani Aduwillah (Bani Ubaidiyah) bersama bersama Abu Yazid. Beliau memberikan ceramah di hadapan tentara Abu Yazid: ‘Mereka mengaku ahli kiblat padahal bukan ahli kiblat, maka kita wajib bersama pasukan ini yang merupakan ahli kiblat untuk memerangi orang yang bukan ahli kiblat (yaitu Bani Ubaidiyah)…’” Di antara ulama yang ikut berperang melawan Bani Ubaidiyah adalah Abul Arab bin Tamim, Abu Abdil Malik Marwan bin Nashruwan, Abu Ishaq As Siba’i, Abul Fadl, dan Abu Sulaiman Rabi’ Al Qotthan. (Ad Daulah Al Fathimiyah, Ali Muhammad As Shalabi). Sampai akhirnya mereka ditaklukkan oleh Salahudin Al Ayyubi.
Setelah kita memahami hakikat peringatan maulid yang sejatinya digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan aqidah kekafiran Bani Ubaidiyah…akankah kita selaku kaum muslimin yang membenci mereka melestarikan syiar orang-orang yang memusuhi ajaran Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam?? Perlu kita ketahui bahwa merayakan maulid bukanlah wujud cinta kita kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Bukankah para sahabat, ulama-ulama Tabi’in, dan Tabi’ Tabi’in adalah orang-orang yang paling mencintai Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Namun tidak tercatat dalam sejarah bahwa mereka merayakan peringatan maulid. Akankah kita katakan mereka tidak mencintai Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.
Seorang penyair mengatakan:
Jika cintamu jujur tentu engkau akan menaatinya…
karena orang yang mencintai akan taat kepada orang yang dia cintai…
Cinta yang sejati bukanlah dengan merayakan hari kelahiran seseorang… namun cinta yang sejati adalah dibuktikan dengan ketaatan kepada orang yang dicintai. Dan bagian dari ketaatan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam adalah dengan tidak melakukan perbuatan yang tidak beliau ajarkan.
Wallahu Waliyyut Taufiq
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com